Senin, 09 Januari 2012

DIBALIK MISTISME BENCANA MERAPI

Bencana merupakan sesuatu hal yang sering terjadi di Indonesia. Mulai dari longsor, gempa bumi, banjir dan lain-lain. Tak sedikit kerugian yang ditimbulkan baik materi maupun non materi. Begitu juga korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana wasior, tsunami sampai yang paling baru ini bencana merapi. Namun sejumlah peristiwa bencana alam di Indonesia memiliki kesamaan dari tanggal kejadian yaitu tanggal 26. ini pun mengundang tanya bagi orang dan senantiasa menghubungkan dengan mistis. Tsunami besar Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Des 2004. Lalu gempa Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. Kemudian gempa Tasikmalaya yang terjadi pada tanggal 26 Juni 2010. Tsunami Mentawai yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Dan bersamaan dengan tsunami Mentawai adalah meletusnya gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober.
Letusan merapi sendiri pun dikaitkan dengan sebuah mistisme yang berkembang di daerah tersebut. Sosok mbah petruk yang muncul dalam bentuk awan panas dikatakan oleh warga sekitar sebagai wujud amarah dari penunggu gunung merapi. Oleh karena itu di merapi sering diadakan acara labuhan ke kawah merapi untuk menghindari bencana dan memohon keselamatan. Dan hal tersebut hanya dapat diketahui dan diperantarai oleh orang yang mempunyai kemampuan spiritual tertentu. Karena itu tidak heran jika orang-orang yang memiliki kekuatan spiritual  kemudian memiliki privilege (hak istimewa) dalam komunitasnya. Selain itu, cerita-cerita rakyat yang masih berkembang di masyarakat semakin menguatkan mitos-mitos seputar Merapi. Karena awalnya, banyak masyarakat yang hidup dengan mistis, di mana animisme dan dinamisme masih sangat berkembang.  Sikap-sikap tersebut dapat tergambar dalam tahap teologis karya Auguste Comte. Dimana seorang yang dianggap memiliki kekuatan spiritual menduduki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Tak heran kedudukan alm. Mbah Maridjan semasa hidupnya di tengah masyarakat dianggap orang yang memiliki peranan yang penting dalam merapi,karena posisi beliau sebagai “Juru Kunci Merapi”. Setelah beliau wafat pun beliau tetap dianggap sebagai sosok yang masih melindungi warga sekitar dan sosok beliau sempat dianggap muncul dalam awan panas yang terjadi di merapi. Tentu saja hal ini dipahami sebagai suatu fenomena yang lumrah terjadi. Sosok yang ideal yang tercermin dari dari alm. Mbah Maridjan tersebut menjadi kultus tersendiri bagi masyarakat sekitar merapi bahkan jogja. Menurut Weber pun demikian, dimana jika seseorang tercermin sebagai sosok yang ideal atau sempurna maka ia akan dikultuskan sebagai suatu acuan baru.
Memang bila ditelaah lebih lanjut bencana merapi dan mistisme seolah merupakan contoh dari suatu fenomena yang tak akan lepas dari hal-hal gaib. Mulai dari mbah petruk sampai sosok alm. Mbah Maridjan yang begitu dihormati. Hal tersebut tentu saja apabila dipahami secara sepihak maka akan menimbulkan suatu pemikiran bahwa tahap teologis ala Comte dan moralitas agama ala Weber turut di dalamnya. Memang hal tersebut tidak dapat dipungkiri, akan tetapi bila kita lihat dari sisi masyarakatnya, terkandung sebuah makna mendalam yang dapat diartikan sebagai wujud dari sebuah nilai yang menjadi pegangan bersama. Dimana cara berpikir masyarakat sekitar merapi menyikapi suatu peristiwa meletusnya gunung merapi dengan sebuah kebersamaan yang menjadi acuan untuk menyatukan mereka. Itulah yang disebut kearifan lokal atau local wisdom. Kearifan lokal menjadi suatu daya tarik tersendiri bila ditelah lebih dalam. Bila dibandingkan dengan acuan teologis dan moralitas agama yang cenderung memaksakan posisi masyarakat dalam anggapan ‘tradisional’, kearifan lokal memberikan kesan tersendiri bahwa segala sesuatu yang dimistiskan menjadi tolak ukur kebersamaan masyarakat yang dibungkus dalam sebuah kepercayaan.
Oleh karena itu perspektif mistisisme yang berkembang dimasyarakat jangan lagi ditafsirkan sebagai kepercayaan terhadap eksistensi kekuatan mistis yang jelas tidak rasional. Ia harus ditafsirkan sebagai kearifan lokal, ikatan sosial masyarakat, dan kebutuhan akan nilai kebersamaan. Cara pandang ini jelas tidak menolak atau menghilangkan mistisisme. Mistisisme tetap diterima, tetapi dimaknai sebagai kebutuhan untuk menjaga harmonisasi hubungan masyarakat. Itulah fungsi dari sebuah kearifan lokal, memberikan trans tersendiri dalam menyikapi segala sesuatu sehingga menjadi nilai atau acuan dala kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi trans yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang sifatnya abstrak tanpa melihat dari sisi keagamaan akan menimbulkan suatu pemahaman yang salah terus menerus ke depannya. ‘Syirik’ itulah kata yang tepat dalam menggambarkan sesuatu yang berlebihan tersebut dalam sisi agama. Dalam konteks atau kaca pandang ini telaah agama dalam hakikat kebenaran postulat  dari Tuhan YME tentu tak bisa diganggu gugat. Karena semua tercantum jelas bahwa segala sesuatu yang dipuja secara berlebihan akan menimbulkan kultus baru menyaingi eksisitensi Tuhan di hati seorang manusia. Jadilah kelak akan terbentuk sebuah opini bahwa kearifan lokal memberikan dampak buruk dalam kehidupan agama.
Mistisme ibarat sebuah persimpangan bila dikaitkan bencana. Di sisi lain kepercayaan terebut menimbulkan anggapan bahwa pemikiran tidak rasional masih terus melekat dalam masyarakat yang modern, di sisi lain kearifan lokal yang di dalamnya menjadi harmonisasi hubungan masyarakat. Akan tetapi dari perspektif agama itu merupakan hal yang syirik dan bertentangan dengan agama. Jadi segala sesuatu pasti menimbulkan sebuah pemikiran matang apabila ditelaah dari berbagai sudut. Pilihlah dengan hatimu.

Referensi
Wirawan, Sarlito. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo
.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;