Senin, 09 Januari 2012

YOGYAKARTA MENUNTUT KEADILAN DI TENGAH DEMOKRASI

Belum lama setelah Yogyakarta menangis pilu akibat bencana merapi dengan wedhus gembel nya yang menelan banyak korban jiwa.....kini Jogyakarta harus legowo menerima bencana lebih dahsyat lagi....gunung demokrasi telah meletus dan mengeluarkan wedhus RUU Keistimewaan Yogyakarta dan kemudian kelak akan menimbulkan korban historis dan nasionalisme rakyat Yogyakarta

Para penghayat demokrasi di Indonesia mulai pusing. Saat saat sunyi menjelang tidur mereka sering tertawa-tawa sendiri layaknya orang bingung. Tingkat kepelikan proses demokratisasi pada kehidupan masyarakat Yogyakarta sudah melampui puncak kepusingan ilmiah dan kegetiran nurani, sehingga tahap yang terjadi kemudian adalah perlunya kesanggupan untuk merekomendasikannya-agar  jiwa tetap plastis, pikiran kembali jernih, dan tenaga tidak berputus asa. Di sisi lain Wagimin, Sugeng, Slamet, maupun Sarimin sampai matinya tidak akan tahu bahwa nasib daerah yang telah di tempati nenek moyang mereka dan ribuan orang di Yogyakarta yang telah beribu kali didiskusikan, diseminarkan, dikonferensikan sampai di bahas dalam sidang di pemerintahan oleh penghayat demokrasi yang telah terlampui batas dalam menegakkan paham mereka. Hasilnya kemudian adalah pemaksaan “suapan” RUU Keistimewaan Yogyakarta. Maka demo-demo di pinggir jalan, tulisan-tulisan di berbagai media cetak serta berbagai wajah yang silih berganti berdebat mengenai keistimewaan Yogyakarta tak juga menuai hasil yang jelas, logis dan bisa mencerminkan rasa saling menghormati satu sama lain. Yang ada mungkin hanya sebuah jawaban kembali ke individu masing-masing ataupun kembali pada tujuan yang mulia. Tapi mulia untuk siapa? Rakyat atau pemerintah ? superordinat atau subordinat?? Pengingkaran historis “keistimewaan” Yogyakarta oleh pemerintah dengan dalih demokrasi dan lain-lain membuat segala sesuatu menjadi runyam pada saat ini. Mungkin bila melihat hal ini Alm. Sri Sultan HB IX akan bersedih dari kubur melihat kesetiaannya akan Indonesia teringkari seperti ini. Dan Bung Karno pun akan turut memarahi Bapak Presiden karena tidak menghargai Yogyakarta. Tidak menghargai Yogyakarta pernah menjadi ibukota Indonesia, menjadi Provinsi yang paling frontal menentang kolonialisme.
Bila meliaht kebelakang, asal mula keistimewaan Yogyakarta merupakan sebuah runutan yang amat jelas sejarahnya. Pada tanggal 19 Agustus 1945 setelah proklamasi Indonesia, Sultan HB IX mengirimkan telegram kepada Soekarno-Hatta bahwa beliau menyatakan dukungan “sanggup berdiri di belakang pimpinan”. Kemudian setelah itu, oleh pemerintah pusat RI, Yogyakarta diberi kedudukan istimewa. Hal ini karena rakyat Yogyakarta sangat menghoramati kedua raja dan sejak awal proklamasi kedua raja tersebut langsung tegas menyatakan bahwa daerahnya merupakan kerajaan istimewa yang langsung memihak RI. Agar kesultanan Yogya dan Kadipaten Pakualaman tidak tergilas revolusi maka pada tanggal 5 September 1945 Sultan HB IX mengeluarkan maklumat yang berisi :
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1.      Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2.      Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
3.      Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

Keistimewaan Yogyakarta kembali dipertegas oleh UUD 1945 (perubahan II) pada pasal 18B
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Maka melihat Pasal 18B berarti sudah ada dasar hukumnya bahwasannya Republik ini secara de jure (hukum) mengakui kekhususan dan hak-hak tradisionalnya (hak/privilage yg diberikan) oleh negara asal tidak bertentangan dengan “Prinsip NKRI”. Oleh karena itu keistimewaan Yogyakarta sudah diakui dalam level yuridis.
Sebenarnya latar belakang pemerintah mencetuskan RUU perumusan Keistimewaan Yogyakarta ada 3, yaitu :
1.      Sri Sultan HB X menegaskan ketidaksediaan beliau menjadi Gubernur DIY selepas masa jabatan tahun 2008. Penegasan ini membuat pengisian jabatan Gubernur masih melahirkan kontrovensi karena tiadak ada kejelasan aturan sehingga membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas.
2.      Pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum terumuskan secara jelas. Penelahaan atas berbagai regulasi ( UU No. 3 thn 1950) memastikan status keistimewaan Yogyakarta lebih kepada substansi. Pengisisan 2x masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada 1998 dan 2003 lebih ditentukan oleh hasil negosiasi opolitik yang keras ketimbang regulasi yang jelas. Jika dibiarkan tanpa kejelasan pengaturan dapat berujung pada terjadinya dehumanisasi pada masyarakat.
3.      Yogyakarta telah memainkan peranan strategis sebagai sumber inspirasi bagi penguatan ke-Indonesiaan. Karena sebuah penegasan kembali mengenai keistimewaan Yogyakarta akan memfasilitasii kembali peran sejarah Yogyakarta sebagi sumber inspirasi untuk menjawab persoalan-persoalan strategis bangsa terutama terkait dalam masalah ke-Indonesiaan dimana kemajemukan sebagai berkah sedang alami kemerosotan menjadi persoalan di berbagai daerah.
Akan tetapi akhir-akhir ini polemik RUU Keistimewaan mencuat ke permukaan publik dan menjadi masalah besar yang di perbincangkan di tengah masyarakat. Hal ini di perjelas ketika Jumat 26 November lalu Pak SBY mengeluarkan pernyataan yang mungkin menuai kontroversi. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi,”. Serentak saja semenjak itu Demo besar-besaran terjadi di Yogyakarta menuntut keistimewaan Yogya. Bahkan diman-mana tertempel tulisan Referendum sebagai reaksi atas RUU Keistimewaan Yogya. Apabila Yogyakarta menggelar referendum maka hal tersebut akan diikuti oleh daerah lain seperti Papua dan wilayah lainnya. ini jelas akan dapat mengancam NKRI, setidaknya kalau referendum rakyat Yogya diperbolehkan bukan tidak mungkin provinsi lainnya juga melakukan hal serupa. menolak gubernurnya dipilih lewat Pilkada cukup dengan referendum saja. Jangan sampai tragedi Timor-timor 11 tahun yang lalu berulang pada Yogyakarta.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan pemerintah adalah pengangkatan Gubernur dan WaGub Yogya secara turun-temurun  atau dengan pewarisan tahta (ascribed status). Hal tersebut tentu saja mencederai demokrasi yang mulai dipuja bangsa Indonesia. Akan tetapi pada kenyataannya DIY dalam banyak hal menjadi barometer tegaknya demokrasi . Perilaku demokratis ini justru banyak diteladankan oleh Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam IX dalam berbagai aspek. Dari Yogyakarta lah Demokrasi dibangun atas semboyan “Tahta unuk kesejahteraan rakyat”. Tentu saja rakyat Yogya pun tak ingin kehilangan sosok pemimpin yang ideal dari sebuah kultus akan raja-raja sebelumnya di tengah krisis kepemimpinan di Indonesia. Otoritas Kharismatik yang dimiliki oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam IX membuat kukuh pernyataan diatas, karena pemimpin yang baik tidak saja dipilih melalui Pemilihan Umum akan tetapi dipilih oleh nurani rakyat dan dicintai rakyat.
Demokrasi yang telah lama kita inginkan sebenarnya malah akan jauh kita tinggalkan apabila polemik ini terus berlanjut. “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” sudah jelas terlihat dari reaksi rakyat selama ini. Bahwa pemimpinnya pun dicintai rakyat, dipercaya oleh rakyat maka biarkan keistimewaannya untuk rakyat Yogya pula. Itulah esensi Demokrasi yang harus kita lihat secara cermat. Dengan perubahan zaman yang terus bergulir, dan mencermati peran keraton sebagai representatif pusat kekuatan masyarakat, kekuatan moral, dan kultur dari kawulo Ngayogyakrta Hadiningrat yang menjadi jiwa dan semangat pengabdian tanpa batas dari masyarakat Yogyakarta hendaknya mampu dipahami oleh pemerintah pusat. Dengan demikian Yogyakarta sebagai daerah istimewa harus dipertahankan, Undang-Undang Tentang Otonomi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tentunya segera disahkan, Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan tidak perlu memakai pemilihan.
Referensi
Kedaulatan Rakyat. 14 Januari 2011 Proses Pemilukada Yogya Mulai Menggeliat, hlm 14.
Kedaulatan Rakyat. 12 Januari 2011. Nasib, Masa Depan dan Status Hukum DIY. Hlm 12

0 komentar:

Posting Komentar

 
;