Senin, 09 Januari 2012

SISI LAIN SAUDARA KITA

Kita bersyukur kalau rasa syukur kita lebih besar dari rasa syukur orang-orang lain. Di Indonesia, kita termasuk di antara sedikit orang yang beruntung dan diuntungkan. Puluhan juta saudara kita menghuni suatu tingkat ekonomi, sosial, budaya yang yang “kalah beruntung dari kita”. Sehingga tak ada dalam pemikiran mereka tentang keperluan manusia untuk mencari hiburan atau meningkatkan pengetahuan. Lebih dari itu, mereka mungkin tidak tahu di Indonesia  ada yang namanya “komidi putar” ataupun majalah “bobo. Mereka terlalu sibuk untuk mengurusi hal-hal elementer : soal makan hari ini dan syukur ada persediaan buat besok. Jika kita pakai kategorisasi-sosiologis yang sering dipakai oleh orang pintar kita, maka mereka relatif termasuk kelompok yang setiap hari bertanya “Besok makan apa?” di antara orang-orang lain yang bertanya “Makan apa besok?”, “Makan diman besok?” serta “Besok makan siapa?” jangan kaget pula kalau tak sedikit diantara mereka tiap hari bergumam “Apa besok makan?”.
Ditengah kesibukan bangsa yang sedang membangun perokonomian ini tersisipkan akibat dari “limbah” kemiskinan. Bahkan saya sering bingung, kata “kita” yang sering dipergunakan penguasa saat memberikan pidato, itu konteksnya “kita” orang-orang kaya, atau “kita” orang-orang yang suka korupsi. Saya lebih suka dijadikan “mereka”, orang-orang yang kelaparan karena hidup yang seperti itu di Indonesia. Biarlah kita tak terbayangkan oleh mereka, para penguasa, mungkin seperti persisnya mereka amat jarang atau tidak pernah mereka pikirkan.
Kalau penguasa sering menggembar-gemborkan mengenai memulai kesetaran gender, maka kita akan berpikir bahwa kesetaran gender adalah wanita-wanita yang yang berani mengambil resiko untuk berkarir atau bahasanya adalah “emansipasi”. Tetapi tidak bagi kita, “emansipasi” sudah dimulai sejak dulu di Indonesia. Sejak simbok-simbok bekerja banting tulang menghidupi anak-anak mereka sejak suaminya meninggal ataupun karena suaminya pergi ke kota dan menjadi “penguasa”. Coba kita bandingkan, antara wanita yang lebih beruntung dan wanita yang nasibnya “buntung”. Wanita yang beruntung ketika ditanya apa pekerjaan harian nya akan menjawab,” wah tidak ada pekerjaan tetap. Tiap hari di rumah saja. Pagi-pagi buta bangun untuk memberesi rumah, menyediakan sarapan, mencuci, kemudian mengantar anak-anak sekolah, segera makan lagi untuk lunch, sore mempersiapkan diri untuk tersenyum menyambut kedatangan suami dari kantor, kemudian bersih-bersih rumah lagi dan malam melayani kelakian suami....”
Ia bukanlah wanita karir, ia hanya stagnan di rumah, kaku mentati peraturan kemudian dia. Coba kita bayangkan wanita yang nasibnya “buntung”. Inilah obrolan kami mengenai pekerjaan sehari-hari mereka “semenjak ditinggal suami tiap hari saya selalu muter-muter mencari pekerjaan mas,,entah jadi buruh cuci maupun buruh tani,,kalau tidak mendapat uang untuk makan hari itu, saya jalan kesana kemari mencari pinjaman beras,,kalau beruntung ya dapat satu gelas kalau tidak beruntung ya makan daun singkong aja mas setiap hari..”. itulah wanita karir sesungguhnya, bekerja kesana kemari mencari peluang hidup di tengah hempasan kesenjangan sosial yang kian menjadi.
Kau tahu kawan,,,kita sudah terlalu disibukkan oleh masalah diri kita sendiri. sampai-sampai kita lupa sesuap nasi yang kita buang atau kita sisakan di piring makan, sangat dicari oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung di luar sana. Pertaruhan hidup tak selamanya mengharuskan kita berjuang “survival of fittest” ala Herbert Spencer atau Darwinisme. Kita harus mampu menelaah mana yang merupakan topeng angkara murka dan mana topeng kebaikan. Ingatlah kawan, hidup itu pilihan, tidak cuma melulu makan, fashion, ataupun kenikmatan yang ada di dunia ini. Hidup itu lebih luas kawan, kemiskinan, ketidakadilan, bahkan kejahatan dan segala urusan tetek bengek yang belum terkaji dalam buku maupun berbagai teori.
Andaikan kita di posisi mereka, apakah kita akan tetap mengharap hal yang sama seperti yang mereka harap setiap hari dalam petikan doa mereka,,,”Ya Tuhan.. berilah hamba Mu ini sesuap nasi agar kami mampu menahan perihnya lilitan kemiskinan ini walau hanya sesuap nasi yang hamba bagi dengan keluarga hamba, berilah hamba Mu ini kehangatan selimut saat malam menyergap tulang-tulang hamba dikala kami saling berpelukan untuk menghangatkan, Ya Tuhan ku,,,,,berilah hamba hari esok yang lebih baik, dengan sebakul nasi setiap harinya, dengan uang 20 ribu setiap harinya, agar hamba mampu memberi secuil kebahagiaan kepada keluarga hamba walaupun sehari dalam seumur hidup…….”       

0 komentar:

Posting Komentar

 
;