Senin, 09 Januari 2012

KENYATAAN DI BALIK PIKIRAN KITA

Kita sering mendengar di berita mengenai penggrebekan pelacuran, pengerusakan tempat judi, sampai penangkapan para pencuri. Semua itu seperti nya merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Tak salah kawan, tengoklah kanan kirimu, bila kau temukan ada penggrebekan tempat prostitusi yang dilakukan oleh ibu-ibu karena takut suaminya “jajan” kesana. Ketika penggrebekan terjadi maka dengan sigap wartawan berita meliputnya dan memproposikan berita yang terjadi sesungguhnya. Kemudian di televisi muncul berita penggrebekan yang terjadi disertai tayangan teriakan makian ibu-ibu terhadap para pelacur. Jangan salah kawan, tayangan itu mungkin ratingnya tinggi sekali sehingga makin sering ditayangkan. Kalaupun kita dibarisan yang melakukan penggrebekan, pengusiran bahkan penangkapan berbagai aksi kejahatan, bahkan jika aksi kita di tayangkan di televisi, pasti kita merasa bak Rama yang berhasil mengalahkan angkara murka Rahwana dan membinasakannya. Pasti diri kita merasa akan dikenang di masyarakat dan akan begitu lancar memasuki surga Firdaus atas segala amal kita tersebut.
Tapi kita sering lupa kawan, esensi yang sebenarnya untuk apa kita hidup di dunia ini. Menjadi satpam kehidupan atau menjadi seorang yang diberi amanah untuk menjadi Khalifah di dunia ini. Kita sering gegamang dan merasa orang yang paling benar di dunia ini bahkan segala urusan yang kita jalankan dan kita ketahui kalau tidak sesuai dengan apa yang kita yakini adalah murtad. Segampang membalikkan tangan, kita menganggap manusia itu “murtad” hanya karena dipojokkan oleh keadaan hidup, di lecehkan oleh kenyataan dan dikhianati oleh nasib. Tak sepenuhnya kita mengerti sesuatu yang mendorong mereka untuk berbuat seperti itu. Kita menjadikan diri kita sebuah aktor protagonis sedangkan para pelacur itu aktor antagonis dalam suatu drama hidup dan kita singkirkan mereka dengan stereotipe serta label yang menempel di dahi mereka yang bertuliskan “kawan-kawan setan”. Itulah keadilan menurut kita, dan itulah jalan yang terbaik bukan?? Tapi kita tak pernah ingin tahu bahkan tak pernah terpikirkan dalam lintasan pikiran kita apa alasan mereka melakukan itu.
Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja yang sebenarnya menjadi penjahat di luar sana, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu tak sedikit dari pejabat-pejabat kita secara terselubung berkorupsi ria menghabiskan uang rakyat sedangkan mereka masih dipuji rakyat. Tapi siapakah yang menjamin bahwa para penjahat melakukan tindakan kriminal untuk menggali harapan penghidupan. Saya berani jamin kepada kalian bahwa 80% penjahat adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet, terjebak dan dipaksa menjalani kehidupan hina ini, dijual keluarganya demi kebutuhan hidup bahkan untuk melanjutkan pendidikan. Orang seperti kalian saya perhitungkan tidak perlu melakukan pekerjaan seperti ini karena uang kiriman sudah cukup bahkan orang tua menjadi penyangga kantong kalian seumur hidup. Di samping itu bersyukurlah posisi sosial kalian termasuk dari sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena kalian bersekolah sampai perguruan tinggi maka kalian menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara rasional. Harapan kalian untuk menjadi penjahat termasuk amat kecil. Kalian akan menang bersaing meniti karir melawan para tamatan sekolah dasar, para DO atau para non-sekolah. Kalaupun menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, kalian bukan merencanakan mencopet seorang ibu di pasar melainkan membuat kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanaan kekuasaan politik.
Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kita menjadi puritan, menjadi “manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasaan baru dimana kita adalah penguasanya. Sedangkan mereka yang terpinggirkan karena ketidakadilan serta kenyataan tetap berlari dikejar oleh orang-orang yang meneriaki mereka ‘”maling’”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;